Halo, kali ini gue gak ngepost lirik atau galau-galau
kok (Yey! kami senang! kami senang!). Sekarang gue mau ngepost cerpen gue yang
dikumpulin buat tugas sekolah hehe. Maklum ya gue gak punya stok cerponah lagi.
Tapi biar seru ceritanya dibikin panjang, terus berubah pangkat deh dari
cerponah jadi cerbung. Masalah genre, karena ini untuk tugas sekolah jadi
seputar sekolah : Friendship, Romance, School.
Cinta = mc2
Sebuah pengumuman terpampang di mading sekolah, pagi
itu Aila kebetulan lewat dan berhenti untuk membaca secara detail isi
pengumuman tersebut.
Jam dinding menunjukan waktu hampir pukul 7,
namun tanda-tanda kehadiran gadis itu belum juga terlihat. Ya, Dian, orang yang
selalu datang ke kelas pukul 7.05, waktu di mana gerbang sedang dalam proses
akan ditutup. Anak itu pun akhirnya datang dengan wajah kelelahan dan nafas
yang memburu.
"Hff, capek! Pagi, Aila
chibi-chibi!," sapa Dian pada Aila yang sedari tadi serius membolak-balik
lembar buku Fisikanya. "Emang ada ulangan ya, La?,"
Aila menggeleng, perhatiannya masih tertuju
pada buku-bukunya. Dian menghela nafas, berpikir sejanak dan kembali berkata,
"Oh iya, kemaren gue dapet uang goceng loh dari chiki. Lumayan kan, terus
gue beli pulsa deh ,". Aila masih tidak berkutik sedikit pun, seakan ada
tembok yang membatasi dua sahabat yang duduk bersebelahan tersebut.
Dian berpikir lagi, "Aila! Gue
denger-denger di gramed ada buku fisika murah loh! Minggu besok kesana
yuk!," kali ini dengan nada yang agak tinggi.
Gadis kutu buku itu hanya menoleh sebentar lalu membaca lagi.
Gadis kutu buku itu hanya menoleh sebentar lalu membaca lagi.
"Aila, itu di bawah kaki lo ada cicak.
Awas!,"
"MANAA? MANAA?! AAH, MAMA?!,"jerit
Aila ketakutan.
Dian tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi
Aila yang menurutnya itu lucu. Brak! Buku setebal 300 halaman dibantig ke meja,
Aila menatap Dian yang menertawainya dengan tajam, emosinya tak tertahankan.
"Menurut lo itu lucu? Hah? Udah deh,
jangan ganggu gue lagi! Gue males temenan sama lo!," sambil membawa buku
serta tasnya, Aila pindah tempat duduk di pojok depan dekat pintu.
Dian ikut kesal melihat sahabatnya lebih
mementingkan buku daripada sekedar menyapanya.
Tak lama kemudian, seorang guru masuk ke kelas.
Pelajaran pertama hari ini adalah Fisika, pelajaran favorit Aila dan un-favorit
Dian. Guru mata pelajaran tersebut namanya Bu Dewi SR, tapi akrab dipanggil Bu
Dew oleh para murid-muridnya. Kepanjangan dari SR sampai sekarang masih
misteri, banyak yang menabak-nebak tapi Bu Dew sendiri enggan memberitahunya.
Lucunya ada loh yang berasumsi kalau SR itu Sari Roti. Dia itu guru yang tidak
pernah membeda-bedakan. Entah itu kaya, miskin, pintar, bodoh. Bicara tentang
Bu Dew, gossip yang beredar sih sebentar lagi Bu Dew akan melepas masa
lajangnya dengan pria yang tak lain guru olah raga di sekolah Dian.
“...semuanya, satu kelas ini, berkesempatan mengikuti seleksi untuk
Olimpiade Sains bidang fisika. Nantinya dari kalian ibu ambil 5 besar,”
Seorang murid mengacungkan tangan dan berdiri, “Semuanya kan, Bu. Siapa aja
boleh ikut, walaupun misalnya dia gak jago fisika?,”
“Iya, Dian,” jawab Bu Dew singkat.
Aila menoleh tajam sekaligus heran pada Dian, memastikan Dian tidak
sedang terpengaruh oleh obat-obatan atau minuman keras. Merasa diperhatikan,
Dian menatap Aila dan menjulurkan lidahnya pada sahabat yang telah
mencampakannya. Kesal Aila makin jadi, ia langsung membuang muka, lalu
melanjutkan bermain dengan buku-bukunya.
Saat jam istirahat tiba, Aila masih terpaku pada setumpuk buku,
mejanya kini tertimbun buku-bukunya. Lalu Dian masuk ke kelas melewati depan
meja Aila sambil memakan wafer strawberry, cemilan kesukaan Aila.
“Emm, enak!,” sindir Dian. Lagi-lagi tidak ada tanggapan. “Pokoknya
nanti gue bakal mewakili sekolah buat ajang olimpiade fisika! Pokoknya harus!
Dan elo, La, gue bakal jadi saingan lo!,” sambil menunjuk ke arah Aila.
Kali ini Aila bergerak, dia merespon, ah tapi tidak dia hanya
mengambil Ipod di dalam tasnya. Seolah ia tidak ingin mendengar ocehan Dian.
Sore harinya setelah pulang sekolah, Dian berjalan sendirian,
padahal biasanya dia bercanda sepanjang perjalanan bersama Aila. Tiba-tiba Dian
sedih, menyesali perbuatan dan kata-katanya pada Aila. Ia pun memutuskan untuk
duduk sebentar di bangku taman.
“Hff. Dian oon! Mana bisa ngalahin Aila, orang gue aja nanya terus
ke dia masa iya mau ngalahin dia? Ahh! Tapi gue udah terlanjur bilang. Aduuh
gimana nih?,” Dian memajamkan matanya.
“Pokoknya gue harus bisa! Seorang Dian tidak pernah menyerah!,” kata
Dian semangat setelah membuka matanya. “Tapi belajarnya gimana? Biasanya kan
Aila yang ngajarin gue. Gue sok-sok’an banget sih lagian, ngebedain percepatan
sama kecepatannya gue gak ngerti. Ah mamah, tolong Dian,” dia memejamkan
matanya lagi.
“Kalo kecepatan jarak persatuan waktu tapi kalo percepatan itu
kecepatan persatuan waktu. Dari simbolnya aja udah beda, kecepatan itu v,
percepatan itu a,” suara yang tidak dikenal mengejutkan Dian.
Dian mencari-cari sumber suara yang begitu dekat itu seolah berada
di sampingnya. Dian menoleh ke kiri, namun tidak menemukan siapa-siapa kecuali
tukang sapu taman itu pun jaraknya lumayan jauh jadi pasti bukan orang
tersebut. Lalu di kanan pun hanya ada ibu dan ankanya yang sedang bermain
ayunan.
“Ah, paling khayalan,” ia terpejam lagi, meratapi nasibnya.
“Hai!,” suara asing itu datang lagi.
Suara itu ternyata milik seorang anak laki-laki yang kini berdiri di
hadapan Dian. Entah karena dia tampan, senyumnya yang manis atau karena membawa
dua wafer coklat, tapi Dian tidak berkedip memandangi wajah pemilik suara itu.
Tampaknya Dian pernah melihat wajah ini, ia berusaha mengingat tapi tidak
menemukan jawabnya.
“Hai, maaf ya tadi aku pergi sebentar beli wafer ini. Nih buat kamu,”
katanya menawari Dian satu wafer coklat.
Dian tercengang memandang laki-laki itu. Merasa terganggu, Dimas, si
pemilik suara, menegurnya sekali lagi.
“Haaaaaai! Ini ambil, buat kamu, gratis kok! Kalo gak mau nanti aku
makan ya,"
Dengan sergap Dian merampas wafer coklat yang hampir masuk ke mulut
Dimas. “Kalo wafer coklat, siapa yang gak mau,” Dian membuka seluruh
bungkusnya, lalu memakannya.“Oh iyo, makazeh yo,” ucap Dian sembari mengunyah
wafer.
“Haha, suka wafer coklat juga ya? Eh kenalin ya, nama aku Dimas.
Rumah aku di blok A no. 18, deket sini. Kamu?,”
“Oh anak blok A, pantes kaya pernah liat. Gue
Dian, anak blok C no. 16,”
Mereka berdua akhirnya berkenalan. Sifat
keduanya yang mudah beradaptasi membuat keduanya sudah terlihat akrab walau
baru berkenalan. Bahkan Dian tak segan mencurahkan isi hatinya tentang
masalahnya dengan Aila.
“Aku bisa ngajarin kamu. Ayok besok kita belajar
bareng,”
“Serius lo? Lo mau ngajarin gue? Makasih ya,
makasih!,”
“Oke. Besok di jam yang sama, kita ketemu lagi
di sini ya. Di samping pohon ini,”
Percakapan itu pun berakhir, Dian beranjak pergi dan
pulang ke rumah karena matahari mulai menghilang. Lalu ia berhenti sejenak
ingin melambaikan tangan pada Dimas, namun sosok itu tidak ada di tempat.
“Dimas cepet banget ngilangnya deh,” lirihnya
pelan.
Berhasilkah Dian mengalahkan Aila? Akankah
kedua sahabat itu mengakhiri perang dingin ini? Siapa sosok Dimas sebenarnya?
Tunggu kelanjutannya di episode kedua “Cinta = mc2 (episode 2 : Aku
suka kamu)”
0 komentar:
Posting Komentar